Pulang kerja aku menjemputnya ke tempatnya
berkerja. Meski berbeda bidang pekerjaan,
sabtu akhir pekan seperti ini kami kerap
pulang bersama. Tidak langsung pulang, kami
biasanya singgah di pantai Kasih dan baru
pulang ke rumah setengah jam sebelum
magrib.
Nama sebenarnya bukan pantai Kasih, tapi
karena kami merasa dunia ini sudah milik
berdua, kami sering sesukanya jika menamai
suatu tempat yang kami sukai.
Tak banyak yang dilakukan di sana. Hanya
duduk menanti senja, makan kuaci, minum es
kelapa muda. Dia bercerita tentang hari-harinya,
aku mendengarnya sesekali ikut bercerita. Lalu
jika senja tiba, kami akan melepas alas kaki,
menggulung celana, lalu berjalan menyusuri
bibir pantai.
"Nanti malam kita kemana ya? Biasanya
malam minggu nonton bola, tapi Liga-liga
belum mulai...
Dia diam, malah asyik bermain-main dengan
ombak. Mengejar ombak yang menjauh, ketika
ombak kembali datang, gantian dia yang
dikejar. Dia akan lari sambil tertawa keras dan
lepas. Aku tersenyum sendiri melihat
tingkahnya itu.
"Kamu bukan ABG lagi, Mas?" katanya sedikit
ngos-ngosan.
"Trus kenapa? Persoalan?"
"Sudah bukan waktunya lagi sibuk mikirin
tujuan malam minggu. Pikirin tuh tujuan hidup.
Pikirin juga masa depanmu.."
Aku tersenyum, menatap matanya yang
menatapku. Mata yang indah. Begitu indah
malah. Sampai sulit aku menilai mana yang
lebih indah, antara matanya dia atau matahari
senja di kaki langit sebelah barat sana.
Kalau itu setiap hari, Sayang. Setiap hari aku
memikirkan masa depanku..."
"Jangan cuma dipikirin, tapi juga harus dikejar!"
suaranya sedikit tegas, sambil tangannya sibuk
menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang
tergerai menutupi wajah karena tertiup angin
pantai.
Aku membantunya, menyingkirkan rambut dari
wajahnya. Rambutnya yang lurus hitam bagus
dan lembut itu memang mudah dikibarkan
angin.
"Ngapain juga masa depan dikejar..." jawabku
kemudian.
"Kok ngapain?" dia melotot sedikit tidak
terima.
"Lhah ngapain dikejar?" kataku agak berbisik.
Bola matanya kutatap dalam-dalam. "Masa
depanku kan sudah ada di depanku
sekarang..."
"Gombaaaallll!" serunya sambil berusaha
meninju lenganku. Aku lari menghindar. Dia
mengejar. Aku berhenti. Menunggunya.
"Dasar kuman karpet..." katanya cemberut
setelah berhasil menyusulku. Lenganku
kembali ditinjunya pelan. Tapi kali ini aku
pasrah saja.
"Kalau bener aku masa depannya Mas, buktiin
dong!" cibirnya.
"Boleh. Caranya?"
Dia tampak memikirkan sesuatu. Lalu
memandangku tajam. "Lamar aku!"
"Hah?!" aku tercekat dan langsung terdiam.
"Kita bersama sudah dari 2016, 2017 dan
sekarang 2018. Lalu sampai duaribu berapa
lagi kita akan gini-gini terus?!"
Aku semakin terdiam.
"Emangnya Mas nggak malu sama keong
racun?" dia bertanya.
"Malu kenapa? Kenal aja enggak!"
"Gini deh, Mas. Tak kasih tau ya. Keong racun
itu, baru kenal udah ngajak tidur. Nah Mas-
nya, udah 3 tahun kenal, ngelamar aja ga
berani!"
Jleb! Rasanya kayak terhempas dan nyungsep
ke dalam pasir! Dalem banget ini. Dalem!
Seorang Trisno yang keren keparat ini ternyata
derajatnya masih di bawah keong racun!
"Diem aja sih, Mas?"
"Baiklah, aku akan lamar kamu..." kataku tanpa
pikir panjang.
Dia kembali menatapku, kali ini dengan sorot
lembut dan cukup lama. Aku tau, dia sedang
mencari keseriusan atas pernyataanku barusan.
Aku berpaling. Tidak kuat walau untuk sedetik
lagi. Tatapan seperti itu selalu meluluhkan
hatiku setiap dia meminta sesuatu. Dan
sepertinya dia sudah hapal dengan
kelemahanku satu ini.
"Udahlah, Sayang, biasa aja natapnya. Ini
serius, aku akan melamarmu...
"Kapan?" tanyanya semangat.
"Sore ini juga! Ayo pulang. Kita temuin orang
tuamu..." kuraih tangannya untuk kugandeng
pulang.
"Hah?! Sore ini juga."
"Yo'i..."
Gantian dia yang terkejut dan terdiam. Ehmm.
*****
Kamis, 29 Maret 2018
Senja di pantai kasih
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar